Cari Blog Ini

Senin, 18 Januari 2010

Sejarah Pemasaran Migas Dalam NegeriSejarah Pemasaran Migas Dalam Negeri Pertamina memiliki jaringan distribusi BBM dan non-BBM yang kuat, tersebar



Pertamina memiliki jaringan distribusi BBM dan non-BBM yang kuat, tersebar di seluruh sudut negeri. Untuk menunjang penyaluran BBM dan Bahan Bakar Khusus (BBK) di seluruh Indonesia dilakukan melalui jalur distribusi yang meliputi: Transit Terminal, Depot, Instalasi dan DPPU.

Jenis-jenis produk BBM terdiri atas: premium, kerosine, autogas (solar),
minyak diesel, dan minyak bakar.

Sedangkan yang dimaksud BBK adalah bahan bakar untuk penerbangan (aviasi), yaitu avtur dan avigas, serta gasoline dengan nilai oktan tinggi, yaitu Pertamax dan Pertamax Plus. Sedangkan BBK jenis Premix dan Super TT sudah tidak dipasarkan lagi.

Suplai avtur dan avigas terus meningkat sejalan dengan permintaan yang juga meningkat akibat peningkatan lalu-lintas penerbangan dalam negeri.

Produk avtur dan avigas, menurut Laporan Tahunan Pertamina 1999-2000, sejak Februari 1999 telah dikeluarkan dari BBM bersubsidi dan harganya diserahkan kepada mekanisme pasar.

SEJARAH PEMASARAN MIGAS

Bagaimanakah bahan bakar khusus ini diproduksi dan didistribusikan? Berikut ini sekilas perjalanan Pertamina melayani bahan bakar untuk pesawat.

Pemasaran bahan bakar untuk pesawat terbang secara modern tak bisa dilepaskan dari dinamika makro organisasi pemasaran di Pertamina. Khususnya untuk pemasaran dalam negeri.

Pada masa Hindia Belanda terdapat dua perusahaan minyak yang beroperasi dalam penyediaan dan pemasaran BBM, yaitu BPM dan Stanvac.

Sedangkan pada masa pendudukan Jepang penyediaan dan pemasaran BBM untuk masyarakat sangat terbatas karena BBM yang dihasilkan terutama digunakan untuk keperluan perang.

Perebutan dari Jepang atas fasilitas pembekalan BBM di dalam negeri beserta sarana penimbunan dan pengangkutan tidak berjalan lancar. Penyebabnya, kedatangan tentara Belanda baik dalam Agresi I Belanda tahun 1947 maupun Agresi II Belanda tahun 1948.

Hingga periode 1950-1960, pembekalan BBM untuk keperluan dalam negeri sepenuhnya dilaksanakan Shell, Stanvac, dan Caltex. Sedangkan perusahaan nasional baru memenuhi sekitar 4,2 persen dari seluruh konsumsi BBM dalam negeri yang saat itu (1960) mencapai 3,3 juta kiloliter. Sebagian besar Shell dan Stanvac yang memasok.

Walaupun tingkat konsumsi terus meningkat, tetapi sejak 1950 sampai 1960 tidak ada penambahan investasi pada sarana distribusi dan pemasaran. Dengan melihat kondisi politik saat itu, perusahaan-perusahaan asing mengalami keraguan untuk melanjutkan usahanya di Indonesia.

Saat itu ada 740 stasiun pompa bensin, 125 truk tangki dengan daya angkut 1.000 kiloliter. Keadaan tersebut mempersulit masyarakat untuk mendapatkan pelayanan BBM.

Organisasi pemasaran Pertamina sepanjang catatan yang diperoleh mulai dibenahi tahun 1960-an yaitu pada masa Pertamin. Dimulai dengan membangun pusat administrasi kecil di setiap pusat pemasaran di Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Medan. Faisal Abda?oe boleh dicatat sebagai salah seorang pembangun jaringan pemasaran. Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini ditugaskan menciptakan suatu kebijakan pemasaran untuk Pertamin.

Pertamin saat itu mulai melakukan pemasaran langsung. Walaupun pada awalnya masih ditopang oleh Shell.

Ketika Kontrak Karya dengan Tiga Besar ? Shell, Stanvac, dan Caltex ? diratifikasi November 1963, Pertamin telah membangun sebuah organisasi pemasaran yang lancar dan fungsional.

Saleh Siregar pimpinan Pertamin mencoba meyakinkan Pemerintah melalui Wakil PM III Chairul Saleh bahwa Pertamin adalah perusahaan yang pantas mengambilalih pemasaran dalam negeri setelah diserahkan oleh kelompok Tiga Besar.

Maka 11 Desember 1963 Pertamin ditunjuk untuk menerima semua kekayaan pemasaran dari kelompok Tiga Besar. Lalu Saleh Siregar mengajukan usulan baru, agar pempercepat pemindahan aset pemasaran. Hal ini menguntungkan Indonesia dibandingkan harus membayar distribusi sebanyak 0,10 dolar per barel.

Chaerul Saleh setuju dan Tiga Besar pun setuju. Pemindahan aset Shell berikut personalia dilakukan atas dasar satu area ke area lain selesai pada Juli 1965. Namun keterlibatan asing dalam pemasaran domestik belum pupus sama sekali. Angkutan laut masih ditangani Shell dan Stanvac, sekalipun Permina juga telah memasuki bisnis itu. Pada saat itu Shell dan Stanvac masih menjalankan kilang-kilang karena kemampuan Permina dan Permigan ? dua BUMN migas selain Pertamin ? masih terbatas.

Pada perkembangan selanjutnya Permina di bawah Ibnu Sutowo meminta persetujuan Pemerintah agar bisa membangun armada tanker yang diperlukan untuk menangani ekspor minyak dan penyaluran antar-pulau.

Permintaan disetujui tahun 1964, Permina mulai mengekspor minyak dengan kapalnya sendiri. Dari waktu ke waktu armada milik Permina terus bertambah. Termasuk kapal carter.

Sebelumnya, tahun 1962, Permina pun membeli sebuah perusahaan pesawat udara, Aero Comander, untuk pengembangan pelayanan udara. Ini merupakan cikal bakal Pelita Air Service. Dan pada tahun yang sama Permina pun membeli sistem telekomunikasi yang canggih, yang dilengkapi dengan telex dan komunikasi suara.

Tahun 1965 meletus G30S/PKI. Keadaan politik mewarnai keadaan ekonomi. Perundingan dengan Shell dan Stanvac masih berlangsung, tetapi distribusi dalam negeri masih menderita kacau, krisis keuangan meningkat, dan pasar gelap minyak tanah dan bensin tidak terawasi.

Ibnu Sutowo mendapat mandat penuh dari Chairul Saleh untuk mengurusi semua keadaan sehari-hari masalah migas.

Pompa bensi biasanya kehabisan persediaan dan pemakai terpaksa membayar harga pasar gelap. Pada dasarnya harga itu naik, tapi kenaikan itu pergi ke pasar gelap, bukan kepada Pemerintah dan maskapai minyak.

Ibnu Sutowo meneruskan perundingan. Stanvac ragu. Sebaliknya Shell memilih meneruskan pembicaraan penjualan anak perusahaannya yang ada di Indonesia.

Dicapai persetujuan dengan harga 110 juta dolar AS, dan persetujuan itu ditandatangani 1 Desember 1965 dan berlaku dari tanggal 1 Januari 1966. Pembayarannya sendiri dilakukan dalam waktu lima tahun dari lapangan dan kilang bekas Shell sendiri.

Sementara Caltex dan Stanvac membatalkan penjualan asetnya kepada Permina. Mereka meneruskan Kontrak Karya.

Tahun 1968 Permina dan Pertamin melakukan merger menjadi PN Pertamina.

DINAMIKA PEMASARAN DALAM NEGERI

Terbitnya UU No. 8 Tahun 1971 tentang Pertamina menugaskan Pertamina melaksanakan pengusahaan minyak dan gas bumi dengan memperoleh hasil yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dan negara. Selain itu menyediakan dan melayani kebutuhan BBM dan gas bumi untuk dalam negeri.

Pada masa Dirut dijabat oleh Joedo Sumbono (Dirut ketiga, 16 April 1981 - 16 Juli 1984) dilakukan peletakkan dasar distribusi BBM di seluruh tanah air yang dibagi ke dalam Unit-unit Pemasaran.

Joedo menghilangkan sistem Koordinator Wilayah (Korwil), sehingga gerak pemasaran dalam negeri langsung ditangani lewat Unit-unit Pemasaran. Tidak perlu melewati jenjang Korwil.

Dalam melaksanakan tugas penyediaan dan pendistribusian BBM dan gas bumi ke seluruh negeri, Pertamina menyusun Program Pengembangan dan Sarana Pembekalan BBM di dalam Negeri.

Daerah pelayanan perlu diperluas sebagai akibat meningkatnya kegiatan ekonomi di seluruh Indonesia. Pertamina pun memperkuat fasilitas penimbunan, fasilitas pelayanan masyarakat, dan fasilitas trasnportasi.

Tahun 1972 ? sebagai tahun efektifnya UU No. 8 Tahun 1971 ? Pertamina telah membangun depot baru, lalu perbaikan dan penambahan sejumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).

Tak ketinggalan dibangun dan ditambah kapasitas penimbunan di Instalasi/Depot di berbagai daerah.

Dan bersamaan dengan itu diperbarui pula fasilitas Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU).

JARINGAN DPPU

Untuk bisnis bahan bakar pesawat (aviation fuel) jaringan distribusi dan operasi Pertamina diperkuat oleh DPPU di seluruh Indonesia, termasuk satu DPPU di negara Timor Leste.

DPPU dikelompokkan berdasarkan kontribusi sales di mana tiga DPPU utama menghasilkan 70 persen, delapan DPPU besar dengan sales 18 persen, dan 43 DPPU lainnya dengan porsi sales 12 persen.

DPPU sebenarnya hanya salah satu bagian dari jaringan arus suplai bahan bakar untuk pesawat. Ada tiga macam arus suplai avtur dan avgas dari tempat pengolahan di kilang sampai masuk ke pesawat (lihat gambar). Ketiganya adalah:
(1) Dari kilang diangkut kapal masuk ke DPPU, lalu dari DPPU memakai refueller, mobil pengisi bahan bakar, ke pesawat.
(2) Dari kilang diangkut kapal masuk terlebih dulu ke depot. Dari sini memakai angkutan darat baru masuk ke DPPU. Setelah itu prosesnya sama, dengan menggunakan refueller masuk ke proses pengisian di pesawat.
(3) Dari kilang diangkut kapal masuk terlebih dulu ke depot. Tapi dari depot ini harus disalurkan dulu ke depot berikutnya. Dari depot barulah diangkut mobil tangki ke DPPU dan seterusnya dengan refueller masuk ke proses pengisian di pesawat.

Harus diakui, Pertamina telah memiliki jaringan dan sistem suplai yang mapan. Lihatlah pada Peta Arus Suplai Aviation Fuel betapa negara kepulauan yang dipisahkan lautan bisa dikuasai dengan satu sistem arus suplai yang canggih dan teratur sehingga pengadaan dan pendistribusian avtur dan avgas berjalan dengan baik. Tak kurang dari 54 DPPU yang melayani kebutuhan berbagai maskapai penerbangan di seluruh bandara, baik bandara utama maupun bandara perintis.

Modal jaringan dan sistem yang sudah baku ini yang potensial digunakan Pertamina dalam persaingan bisnis aviation fuel di Indonesia. Jaringan dan sistem ini menjadi alat untuk bargaining position dengan para pemain asing yang hendak masuk ke bisnis suplai dan pemasaran bahan bakar pesawat.

DPPU yang dikelola Pertamina ada di wilayah kerja Unit Pemasaran (UPms) I adalah DPPU-DPPU Standar yang ada di Bandara Iskandar Muda- Blang Bintang-Meulaboh (Nanggroe Aceh Darussalam), di Bandara Polonia-Medan (Sumatera Utara), Bandara Pinang Kampai-Dumai (Riau), Bandara Tabing-Padang (Sumatera Barat), dan DPPU di Bandara Hang Nadim-Batam (Kepulauan Riau), DPPU di Bandara Sultan Syarif Kasim II-Pekanbaru (Riau), serta DPPU di Bandara Ranai-Natuna (Kepulauan Riau).

Sementara di UPms II Pertamina mengelola DPPU Standar di Bandara Sultan Toha-Jambi, Bandara Padang Kemiling-Bengkulu, Bandara Sultan Muhammad Badaruddin-Palembang, dan Bandara Pangkal Pinang-Bangka, serta DPPU di Bandara Depati Amir-Pangkal Pinang, dan DPPU di Pulau Baai.

Untuk wilayah kerja UPms III membawahi DPPU Standar di Bandara Soekarno-Hatta-Jakarta, Halim Perdanakusuma-Jakarta, di Bandara Husen Sastranegara-Bandung, dan di Bandara Pondok Cabe-Tangerang (Banten).

DPPU Standar yang lain berada di UPms IV, yaitu DPPU di Bandara Ahmad Yani-Semarang (Jawa Tengang), Bandara Adi Sucipto-Yogyakarta (DIY Yogyakarta), dan DPPU di Bandara Adi Sumarno-Solo (Jawa Tengah), serta DPPU Perintis di Bandara Tunggul Wulung-Cilacap.

Sedangkan DPPU-DPPU Standar yang ada di wilayah kerja UPms V meliputi Bandara Juanda-Surabaya (Jawa Timur), Iswahyudi-Madiun (Jawa Timur), Bandara Ngurah Rai-Denpasar, Bali, dan di Bandara El Tari-Kupang (Nusa Tenggara Timur), Bandara Selaparang-Lombok-Mataram (Nusa Tenggara Barat).

Masih di wilayah kerja UPms V terdapat DPPU Perintis yang berada di daerah Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, yaitu DPPU yang berada di Bandara Sumbawa Besar-Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), Bandara H. Aroeboesman-Ende-Flores, Bandara Mau Hau-Waingapu, Bandara Wai-Oti-Maumere, dan Bandara Sultan Muhammad Salahuddin-Bima, serta DPPU di Bandara Komoro-Dilli, Timor Leste.

Berbagai DPPU yang ada di bandara-bandara wilayah Kalimantan (UPms VI) terdapat di Bandara Supadio-Pontianak (Kalimantan Barat), Bandara Syamsudin Noor-Banjarmasin (Kalimantan Selatan), Sepinggan-Balikpapan, Bandara Juwata-Tarakan (Kalimantan Timur), dan DPPU di Bandara Tjilik Riwut-Palangkaraya.

Di wilayah UPms VI terdapat DPPU Perintis yang ada di Bandara Iskandar-Pangkalan Bun (Kalimantan Tengah), Bandara Temindung-Samarinda (Kalimantan Selatan).

Untuk wilayah kerja UPms VII, yaitu wilayah Sulawesi terdapat beberapa DPPU Standar, masing-masing terdapat di Bandara Hasanuddin-Ujung Pandang (Sulawesi Selatan), Bandara Mutiara-Palu (Sulawesi Tengah), dan DPPU Standar di Bandara Sam Ratulangi-Manado (Sulawesi Utara).

Sedangkan DPPU Perintis di wilayah kerja UPms VII cukup banyak, yaitu di Bandara Lalos-Toli-Toli (Sulawesi Utara), Bandara Bubung-Luwuk (Sulawesi Tengah), Bandara Jalaludin- Gorontalo (Gorontalo), Bandara Bubung Luwuk-Luwuk (Sulawesi Tenggara) serta Bandara Wolter Monginsidi-Kendari (Sulawesi Tenggara)

Sedangkan DPPU-DPPU Standar yang terdapat di sejumlah bandara di wilayah Maluku dan Papua, yang masuk ke dalam wilayah kerja UPms VIII adalah DPPU yang berada di Bandara Pattimura-Ambon (Maluku), Bandara Frans Kaisiepo-Biak (Papua), dan Bandara Sentani-Jayapura (Papua).

Adapun DPPU Perintis tersebar di Bandara Sorong Daratan-Sorong (Irian Jaya Barat), Bandara Utarom-Kaimana (Papua), Bandara Dumatubun-Tual (Maluku), Bandara Babullah-Ternate, Bandara Paniai-Nabire, Bandara Rendani-Manokwari, serta Bandara Mopah-Merauke (Papua).

Hingga sekarang sarana pembekalan BBM ini terdiri atas 8 UPms, 24 Depot Inline, 97 Depot Seafed, 54 DPPU, 1308 Tangki, 1.051 km jalur pipa, dan 135 Tanker (31 milik Pertamina, 102 carter). Data-data itu memperlihatkan peningkatan yang cukup berarti dan berlangsung secara berlanjut dari satu dekade ke dekade berikutnya. (Tim WePe)


http://postman7166.blogspot.com/2009/10/sejarah-pemasaran-migas-dalam-negeri.html

Tidak ada komentar: